Sabtu, 08 September 2012

Jurnalis Indonesia Dari Masa Ke Masa


 
Kata Jurnalistik berasal dari bahasa latin “journal” yang berarti catatan atau pelaporan, sementara dalam bahasa prancis “djournal” berarti catatan sehari-hari. Dari berbagai definisi yang berhasil FN (Forum Nusantara) himpun, definisi jurnalistik memiliki kesamaan arti yaitu kegiatan mencari, mengumpulkan dan mengolah data yang disampaikan dalam bentuk pelaporan (berita) untuk menjadi konsumsi publik.

Sementara orang yang melakukan kegiatan jurnalistik di sebut pula jurnalist yang mencakup wartawan, reporter, editor/redaktur, kameramen, kolumnis, penulis artikel, penulis opini dan lain sebagainya. Dan paham jurnalistik atau ilmu kejurnalistikan di sebut pula jurnalisme.

Jurnalist Indonesia mengalami masa perkembangan yang panjang dari waktu ke waktu. Pada mulanya jurnalis indonesia muncul bertepatan dengan kedatangan VOC di Indonesia, media massa pertama kali muncul atas perintah Gubernur Jenderal VOC Jan Piterzoon Coen dengan nama “Memoirs de nouvelles” yang di terbitkan dalam tulisan tangan pada tahun 1615. Pada tahun 1688 mesin cetak pertama di indonesia tiba, dan pada tahun itu pula media massa mencetak koran untuk pertama kalinya dengan terbitan yang memuat  perjanjian-perjanjian antara Pemerintah Belanda dengan Sultan makasar.

Saat Raffles menjadi Gubernur jenderal di Jawa, nama “Memoir de Nouvelles” di gantikan dengan “ Bataviasche Nouvelles En Politique Raisonemnetan” yang terbitan perdananya pada tanggal  7 agustus 1774. Sejak masa itu muncul berbagai jenis media cetak dalam berbagai bahasa di indonesia yaitu; bahasa melayu, bahasa tionghoa dan bahasa belanda.

Kemudian muncullah penjajahan Jepang, pada masa itu pers indonesia yang berdiri sendiri di satukan dan di jadikan alat propaganda jepang dalam mempromosikan jepang sebagai “Pahlawan Asia Timur Raya”. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang di muat adalah rekayasa penjajah jepang dengan misi pembenaran atas “Dai Toa Senso” atau yang di sebut juga Perang Asia Timur Raya.

Setelah Hiroshima diluluh lantakan pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal 9 Abustus 1945 oleh Bom Atom seberat 5 ton yang di bawa 2 buah pesawat Amerika jenis B-29 Superfoster dari markas Amerika di Filipina, sejak itulah di mulai masa pergerakan kemerdekaan Indonesia yang di akhiri dengan pembacaan proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus tahun 1945. Soeara Asia adalah media cetak pertama yang memuat teks proklamasi dan di ikuti surat kabar Tjahaja (bandung), Asia Raja (jakarta), Asia Baroe (semarang) dan beberapa surat kabar lainnya

Kedatangan sekutu pasca kemerdekaan membuat Indonesia mengalami gejolak Revolusi Fisik. Pada masa itulah media massa menjadi senjata utama para penggerak kemerdekaan. Hampir sebagian besar para tokoh kemerdekaan terlibat dalam kegiatan jurnalistik di antaranya; Soekarno dengan media Soeara Asia nya, Tan Malaka, Deuweus Dekker, Ki Hajar Dewantara, Mas Marco Kartodikromo, Dr. Cipto Mangunkusumo, Sosro Karsono, dan masih banyak lainnya. Dengan berpegang teguh pada semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”, pers indonesia bergerak secara keras dan Radikal hingga beberapa wartawan terpaksa di buang ke digul dan beberapa tempat lainnya akibat di anggap merugikan pemerintahan belanda.

9 februari 1946, berkumpullah para wartawan indonesia yang bertempat di gedung museum pers solo (saat ini) dan membentuk PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang kemudian di ketuai Harmoko. Pada kongres PWI ke 16 di Padang pada Desember 1978, Harmoko mengusulkan hari lahir PWI sebagai Hari pers Indonesia. Dan ketika Harmoko menjabat menteri penerangan pada 1983 pelobian tingkat tingginya membuahkan hasil. Tahun 1985 muncullah keputusan Presiden no.5/1985 yang menetapkan hari lahir PWI sebagai Hari Pers Nasional.

Namun demikian, PWI bukanlah satu-satunya organisasi jurnalis pertama di indonesia, sebelumnya telah muncul IJB (inlandsche Journalisten Bond) yang di pelopori ki Hajar Dewantara pada 1914 di Surakarta, lalu ,muncul pula Kaoem Djournalists (1931), persatoean Djournalis Indonesia (1940) dan lainnya.

Di masa Orde lama jurnalis indonesia hanyalah sebagai alat propaganda partai-partai dan politikus-politikus dalam menjatuhkan pemerintah RI dan saingan politik mereka. Kritik dan karangan yag dimuat terlampau sarkasme hingga cenderung melampaui batas-batas kesopanan dan menyalahgunakan kebebasan pers.

Sementara pada masa orde baru pers indonesia mengalami penekanan dan pembungkaman. Kebebasan berpikir, berkumpul, berserikat dan menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan sesuai UUD 1945 pasal 28 hanyalah kiasan belaka. Pada kenyataannya pers indonesia di suguhi penjegalan dan pembredelan oleh Soeharto dan rezim orde barunya. Hingga Muncullah gejolak Reformasi yang di usung para Mahasiswa untuk melengserkan Suharto dan Rezim orde barunya dari Tahta Indonesia. Pasca reformasi atas jasa presiden BJ Habibie yang secara otomatis menggantikan Suharto yang lengser pada masa itu, pers Indonesia bisa bernafas lega dengan dikeluarkannya UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menjamin kebebasan Pers dan Kemerdekaan dalam menerbitkan dan mensiarkan.

Pers Indonesia mengalami suka duka dari masa ke masa. Pers indonesia pula menjadi saksi sejarah berdirinya Tanah Air pusaka ini, bahkan secara langsung dan tidak langsung pers indonesia pun turut merintis kemerdekaan negara Republik ini. Kini setelah begitu banyak nyawa melayang, begitu banyak darah terbuang agar bendera pers indonesia tetap berkibar, di masa kejayaan pers Indonesia yang tak lagi di hantui pembredelan, masihkan kita rela segelintir orang menyalahgunakan kebebasan pers hanya dengan berbekal legalitas dan senjata kontrol sosial ??? masihkan kita rela dunia Pers Indonesia di cemari oknum-oknum tak bertanggung jawab??? Dan masihkah kita akan membiarkan informasi publik di tutup-tutupi dan masyarakat Indonesia di liputi kebohongan sementara sebagai guru bangsa kita berkoar tentang PERS TURUT MENCERDASKAN BANGSA ???  saat ini begitu mudah menjadi jurnalis, namun sudahkah anda memantapkan hati, menyatukan langkah menjunjung keterbukaan publik demi Indonesia??? Karena jika tidak, sia-sia lah legalitas jurnalis yang anda gembar-gemborkan ! lalu untuk apa anda jadi jurnalis?? Tanyalah pada diri anda sendiri !! jurnalisme bukan muncul dalam teori, tapi dalam kinerja profesional yang dilakukan hati !! karena jurnalisme akan muncul setelah anda memantapkan hati demi satu kata “PENGABDIAN” !!!

 

(Galih Susanto Kurniawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar