Kata Jurnalistik berasal dari bahasa latin
“journal” yang berarti catatan atau pelaporan, sementara dalam bahasa prancis
“djournal” berarti catatan sehari-hari. Dari berbagai definisi yang berhasil FN
(Forum Nusantara) himpun, definisi jurnalistik memiliki kesamaan arti yaitu
kegiatan mencari, mengumpulkan dan mengolah data yang disampaikan dalam bentuk
pelaporan (berita) untuk menjadi konsumsi publik.
Sementara orang yang melakukan kegiatan
jurnalistik di sebut pula jurnalist yang mencakup wartawan, reporter, editor/redaktur,
kameramen, kolumnis, penulis artikel, penulis opini dan lain sebagainya. Dan
paham jurnalistik atau ilmu kejurnalistikan di sebut pula jurnalisme.
Jurnalist Indonesia mengalami masa
perkembangan yang panjang dari waktu ke waktu. Pada mulanya jurnalis indonesia
muncul bertepatan dengan kedatangan VOC di Indonesia, media massa pertama kali
muncul atas perintah Gubernur Jenderal VOC Jan
Piterzoon Coen dengan nama “Memoirs de
nouvelles” yang di terbitkan dalam tulisan tangan pada tahun 1615. Pada tahun
1688 mesin cetak pertama di indonesia tiba, dan pada tahun itu pula media massa
mencetak koran untuk pertama kalinya dengan terbitan yang memuat perjanjian-perjanjian antara Pemerintah
Belanda dengan Sultan makasar.
Saat Raffles menjadi Gubernur jenderal di
Jawa, nama “Memoir de Nouvelles” di gantikan dengan “ Bataviasche
Nouvelles En Politique Raisonemnetan” yang terbitan perdananya pada
tanggal 7 agustus 1774. Sejak masa itu muncul berbagai jenis media
cetak dalam berbagai bahasa di indonesia yaitu; bahasa melayu, bahasa tionghoa
dan bahasa belanda.
Kemudian muncullah penjajahan Jepang, pada
masa itu pers indonesia yang berdiri sendiri di satukan dan di jadikan alat
propaganda jepang dalam mempromosikan jepang sebagai “Pahlawan Asia Timur
Raya”. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang di muat adalah rekayasa penjajah
jepang dengan misi pembenaran atas “Dai Toa Senso” atau yang di sebut juga
Perang Asia Timur Raya.
Setelah Hiroshima diluluh lantakan pada
tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal 9 Abustus 1945 oleh Bom Atom
seberat 5 ton yang di bawa 2 buah pesawat Amerika jenis B-29 Superfoster dari
markas Amerika di Filipina, sejak itulah di mulai masa pergerakan kemerdekaan
Indonesia yang di akhiri dengan pembacaan proklamasi kemerdekaan RI pada
tanggal 17 Agustus tahun 1945. Soeara Asia adalah media cetak pertama yang
memuat teks proklamasi dan di ikuti surat kabar Tjahaja (bandung), Asia Raja
(jakarta), Asia Baroe (semarang) dan beberapa surat kabar lainnya
Kedatangan sekutu pasca kemerdekaan membuat
Indonesia mengalami gejolak Revolusi Fisik. Pada masa itulah media massa
menjadi senjata utama para penggerak kemerdekaan. Hampir sebagian besar para tokoh
kemerdekaan terlibat dalam kegiatan jurnalistik di antaranya; Soekarno dengan
media Soeara Asia nya, Tan Malaka, Deuweus Dekker, Ki Hajar Dewantara, Mas
Marco Kartodikromo, Dr. Cipto Mangunkusumo, Sosro Karsono, dan masih banyak
lainnya. Dengan berpegang teguh pada semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”,
pers indonesia bergerak secara keras dan Radikal hingga beberapa wartawan
terpaksa di buang ke digul dan beberapa tempat lainnya akibat di anggap
merugikan pemerintahan belanda.
9 februari 1946, berkumpullah para wartawan
indonesia yang bertempat di gedung museum pers solo (saat ini) dan membentuk
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang kemudian di ketuai Harmoko. Pada
kongres PWI ke 16 di Padang pada Desember 1978, Harmoko mengusulkan hari lahir
PWI sebagai Hari pers Indonesia. Dan ketika Harmoko menjabat menteri penerangan
pada 1983 pelobian tingkat tingginya membuahkan hasil. Tahun 1985 muncullah
keputusan Presiden no.5/1985 yang menetapkan hari lahir PWI sebagai Hari Pers
Nasional.
Namun demikian, PWI bukanlah satu-satunya
organisasi jurnalis pertama di indonesia, sebelumnya telah muncul IJB
(inlandsche Journalisten Bond) yang di pelopori ki Hajar Dewantara pada 1914 di
Surakarta, lalu ,muncul pula Kaoem Djournalists (1931), persatoean Djournalis
Indonesia (1940) dan lainnya.
Di masa Orde lama jurnalis indonesia hanyalah
sebagai alat propaganda partai-partai dan politikus-politikus dalam menjatuhkan
pemerintah RI dan saingan politik mereka. Kritik dan karangan yag dimuat
terlampau sarkasme hingga cenderung melampaui batas-batas kesopanan dan
menyalahgunakan kebebasan pers.
Sementara pada masa orde baru pers indonesia
mengalami penekanan dan pembungkaman. Kebebasan berpikir, berkumpul, berserikat
dan menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan sesuai UUD 1945 pasal 28
hanyalah kiasan belaka. Pada kenyataannya pers indonesia di suguhi penjegalan
dan pembredelan oleh Soeharto dan rezim orde barunya. Hingga Muncullah gejolak
Reformasi yang di usung para Mahasiswa untuk melengserkan Suharto dan Rezim
orde barunya dari Tahta Indonesia. Pasca reformasi atas jasa presiden BJ
Habibie yang secara otomatis menggantikan Suharto yang lengser pada masa itu,
pers Indonesia bisa bernafas lega dengan dikeluarkannya UU No. 40 Tahun 1999
Tentang Pers yang menjamin kebebasan Pers dan Kemerdekaan dalam menerbitkan dan
mensiarkan.
Pers Indonesia mengalami suka duka dari masa
ke masa. Pers indonesia pula menjadi saksi sejarah berdirinya Tanah Air pusaka
ini, bahkan secara langsung dan tidak langsung pers indonesia pun turut
merintis kemerdekaan negara Republik ini. Kini setelah begitu banyak nyawa
melayang, begitu banyak darah terbuang agar bendera pers indonesia tetap
berkibar, di masa kejayaan pers Indonesia yang tak lagi di hantui pembredelan,
masihkan kita rela segelintir orang menyalahgunakan kebebasan pers hanya dengan
berbekal legalitas dan senjata kontrol sosial ??? masihkan kita rela dunia Pers
Indonesia di cemari oknum-oknum tak bertanggung jawab??? Dan masihkah kita akan
membiarkan informasi publik di tutup-tutupi dan masyarakat Indonesia di liputi
kebohongan sementara sebagai guru bangsa kita berkoar tentang PERS TURUT
MENCERDASKAN BANGSA ??? saat ini begitu
mudah menjadi jurnalis, namun sudahkah anda memantapkan hati, menyatukan langkah
menjunjung keterbukaan publik demi Indonesia??? Karena jika tidak, sia-sia lah
legalitas jurnalis yang anda gembar-gemborkan ! lalu untuk apa anda jadi
jurnalis?? Tanyalah pada diri anda sendiri !! jurnalisme bukan muncul dalam
teori, tapi dalam kinerja profesional yang dilakukan hati !! karena jurnalisme
akan muncul setelah anda memantapkan hati demi satu kata “PENGABDIAN” !!!
(Galih Susanto Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar